Selasa, 05 Februari 2013

Inferioritas vs superioritas


 Mungkin ada jutaan manusia yang berpikir, merasa, dan yakin bahwa di dalam dirinya tidak ada keunggulan, bakat, atau kelebihan apapun yang pantas diandalkan. Isi pikiran, isi perasaan, dan isi keyakinan semacam itu, entah kita sadari atau tidak, lama kelamaan membentuk sebuah kesimpulan di dalam batin, membentuk citra diri, membentuk opini tentang diri, membentuk defenisi diri yang kita ciptakan sendiri tentang diri kita. 

Rasa percaya diri adalah satu diantara aspek-aspek kepribadian yang penting
dalam kehidupan manusia. Rasa percaya diri sangat membantu manusia dalam
perkembangan kepribadiannya. Karena itulah rasa kepercayaan diri sangat dibutuhkan manusia dalam menjalani hidupnya.

Inferioritas merupakan  kebalikan dari superioritas (rasa percaya diri yang
terlalu tinggi). Inferioritas itu adalah minder atau rasa rendah diri. Inferioritas adalah
perasaan yang relatif tetap (persistent) tentang ketidakmampuan diri atau munculnya
kecenderungan untuk merasa kurang atau menjadi kurang sehingga tidak bisa
menunjukkan kebolehannya secara optimal.

 Inferiority feelings (Albert Adler)
Inferiority feelings adalah kata lain dari banyak istilah dalam psikologi yang kemudian masuk menjadi kata sehari-hari pada bahasa Inggris. Kata tersebut diperoleh dari pendekatan Adler mengenai kepribadian. Memang, hal itu adalah inti dari pendekatannya. Perasaan umum menyangkut inferioritas, yang Adler percaya, adalah selalu ada dan vital sebagai kekuatan penentu dalam tingkah laku. “untuk menjadi manusia,” tulisnya, “berarti merasakan dirinya inferior.” Jadi, inferior adalah kondisi yang umum bagi semua orang, dan seperti yang telah diketahui, bukanlah merupakan satu tanda kelemahan atau abnormalitas.

Semua kemajuan manusia, pertumbuhan, dan perkembangan dihasilkan dari usaha untuk mengkompensasi inferioritas seseorang, apakah inferioritas tersebut adalah nyata atau hanya imajinasi. Sepanjang kehidupan individu, seseorang dimotivasi oleh kebutuhan untuk mengatasi perasaan inferioritas ini dan untuk berusaha untuk ketingkat perkembangan yang lebih tinggi. Menurut Adler proses tersebut dimulai pada masa bayi. Bayi kecil dan tidak berdaya, sepenuhnya bergantung pada orang dewasa. Adler merasa bahwa bayi menyadari dari ketergantungannya terhadap tenaga dan kekuatan yang lebih besar dari orang tuanya; bayi menyadari ketidakmungkinannya untuk menahan dan menantang kekuatan tersebut. hasilnya, bayi membangun perasaan inferior letergantungan pada orang yang lebih besar, lebih kuat di lingkungannya. , dimana, bagi bayi, dimanapun sama saja: lemah dan tergantung pada orang dewasa.
Penting untuk dipahami bahwa perasaan inferior itu tidak dapat dihindari. Inferioritas memberikan motivasi terbesar untuk berusaha, untuk tumbuh, agar lebih maju dan sukses. Semua kemajuan dan peningkatan dihasilkan dari usaha mengkompensasi perasaan inferior ini. Hal itu sangat berharga dan berguna.

Apa yang terjadi bila anak tidak mampu untuk mengkompensasi perasaan inferioritasnya? Ketidakmampuan mengatasi perasaan inferior akan menguat dan sering terjadi dan perasaan ini membawa pada kompleks inferioritas. Adler menjelaskan kondisi ini sebagai “ketidakmampuan untuk mengatasi masalah-masalah hidup,” dan dia menemukan kompleks semacam itu pada masa kanak-kanak dari banyak orang dewasa yang datang padanya untuk pengobatan. Kompleks inferioritas dapat bersumber dari tiga hal: melalui inferioritas organis, melalui memanjakan, dan melalui pengabaian.

Investigasi mengenai inferioritas organis merupakan usaha pertama Adler yang dilakukan saat ia masih bersama Freud. Adler mengatakan bahwa cacat organ atau bagian tubuh mempengaruhi perkembangan personal melalui usaha seseorang untuk ,mengkompensasi cacat atau kelemahan, seperti yang Adler lakukan untuk mengkompensasi penyakit rakhitisnya yang merupakan inferioritas organis pada masa kecilnya.

Memanjakan anak juga dapat membawa pada kompleks inferioritas. Anak yang dimanjakan tentu daja merupakan pusat perhatian di rumah, dimana setiap keinginannya dipenuhi dan sedikit yang diabaikan. Dibalik persoalan anak yang secara alami membangun pemikiran bahwa dia adalah orang yang paling penting dalam setiap situasi dan orang lain harus menurut padanya.
Anak manja memiliki sedikit, jika ada, perasaan sosial dan sangat tidak sabaran dengan orang lain. Anak manja juga tidak dapat mengatasi kesulitan atau menyesuaikan diri dengan orang lain. Bila berhadapan dengan rintangan untuk mendapatkan kesenangan, mereka percaya bahwa ketidakmampuan mereka yang menghalangi mereka. Oleh karena itulah kompleks inferioritas berkembang.

Adalah mudah untuk dipahami bagaimana anak yang diabaikan –seseorang yang tidak diinginkan atau ditolak- dapat mengembangkan kompleks inferioritas. Masa bayi dan masa kanak-kanak mereka ditandai dengan kurangnya cinta dan rasa aman, dikarenakan orang tua yang acuh tak acuh atau bahkan orang tua yang memiliki rasa permusuhan. Hasilnya, anak dapat mengembangkan persaan tidak berharga –bahkan kemarahan- dan melihat semua orang dengan ketidakpercayaan.

Sumber apapun dari perasaan inferioritas, seseorang dapat berkencenderungan untuk mengkomponsasi, dan juga mengembangkan apa yang disebut kompleks superioritas.

Berjuang untuk Superioritas
Melalui istilah “Berjuang untuk Superioritas” Adler tidak mengartikan bahwa setiap orang dari kita berjuang untuk berada diatas posisi atau wibawa orang lain. Adler sering menggunakan kata perfeksion sebagai sinonim dari superioritas. Orang-orang berjuang untuk perfeksion (kesempurnaan) yang mana Adler juga menjelaskannya lebih lanjut seperti penguasaan, berjuang untuk naik, peningkatan, sebuah usaha bergerak dari bawah keatas, atau pendorong dari minus ke plus.

Peningkatan besar ini setara dengan pertumbuhan fisik dan merupakan bagian dari hidup. Setiap hal yang kita lakukan mengikuti dorongan dan tujuan dari perjuangan yang terjadi secara konstan ini. Kita tak pernah lepas darinya karena perjuangan adalah hidup itu sendiri. Setiap hal diperjuangkan untuk memperoleh Superioritas ini, untuk perfeksion. Menggunakan teori evolusi Darwin, Adler mengatakan bahwa semua hidup mengekspresikan drinya sebagai pergerakan konstan menuju tujuan pemeliharaan dan peningkatan individu dan spesies. Dan tujuan ini dicapai dengan beradaptasi dan penguasaan terhadap lingkungan.
Dibandingkan Freud yang melihat tingkah laku manusia secara kaku ditentukan oleh dorongan fisiologis dan pengalaman masa anak-anak, Adler melihat bahwa motivasi adalah istilah dari harapan untuk masa depan.

Kemudian, semua proses psikologis dan fenomena dapat dijelaskan dengan konsep finalism oleh Adler –pikiran bahwa kita punya tujuan utama, keadaan akhir dari suatu keberadaan, dan kecenderungan sekarang-selamanya ataukebutuhan untuk bergerak dalam tujuan itu. Ada aspek penting dalam pernyataan tentang finalism; tujuan yang kita capai sebagai individual bukanlah merupakan aktualita tapi lebih pada potinsialitas. Ita berjuang untuk cita-cita yang ada dalamdiri kita secara subyektif.

Adler berpendapat bahwa tujuan keseluruhan kita adalah sebuah keinginan fiktif yang tak dapat diuji dengan realita. Dia juga menambahkan kita hidup dikelilingi oleh khayalan tersebut. Kita boleh saja percaya bahwa semua manusia diciptakan sama atau bahwa semua manusia pada dasarnya baik, dan cita-cita mempengaruhi cara kita merasa dan berinteraksi dengannya disekeliling kita.

Kemudian kita punya konsep Adler mengenai Fictional Finalism –tentang pemikiran fiktif (tidak nyata) mengarahkan tingkah laku kita-. Ada banyak pemikiran fiktif yang dengannya kita menuju jalan hidup kita, tetapi yang paling umum adalah keinginan tentang perfeksionisme. Gambaran terbaik mengenai keinginan ini yang dikembangkan dari keberadaan manusia adalah konsep tentang Tuhan.

Ada dua poin tambahan mengenai berjuang untuk superioritas. Pertama hal itu berfungsi untuk meningkatkan tegangan. Berlawanan dengan Freud, Adler tidak melihat motivasi tunggal kita sebagai pereduksi tegangan dan pemeliharaan agar tetep netral. Berjuang untuk superioritas (yang berkorelasi dengan kata meningkat, lebih, maju) membutuhkan pengeluaran energi dan usaha yang besar. Adler merasa bahwa manusia ingin melawan stabilitas dan keadaan yang tenang.

Kedua, berjuang untuk superioritas dimiliki oleh individu dan masyarakat. Adler menganggap bahwa manusia sangat sosial. Kita berjuang untuk superioritas tidak hanya sebagai diri sendiri tapi juga sebagai bagian masyarakat. Adler melihat antara individu dan masyarakat tergantung dan berhubungan dekat, jadi manusia harus berfungsi secara konstruktif dengan orang lain demu kebaikan bersama.

Disleksia

Dalam masyarakat awam, seorang anak yang  lamban dalam belajar membaca sering dianggap anak yang tidak pandai atau memiliki IQ rendah. Pada kenyataanya, hal itu bukanlah faktor penentu karna bisa jadi anak tersebut mengalami disleksia.
Disleksia adalah kesukaran membaca yang disebabkan gangguan perkembangan otak.

Macam2 disleksia :
- Disleksia visual
   terjadi bila pusat baca di girus angularis lobus parietalis kiri tidak berfungsi dengan baik.
   contoh : tidak dapat membedakan d-b-p. m-w. u-n ; ada huruf yang tidak dibaca ; baca huruf demi huruf.
- Disleksia auditoris
   terjadi karena terganggunya pusat pendengaran fonem bahasa atau hubungan pusat ini dengan pusat baca.
   contoh : d dibaca t, b dibaca p, k dibaca g atau sebaliknya. Anak sulit membedakan bunyi huruf2 ini.
- Disleksia campuran visual dan auditoris




Insekuritas gravitasional

Insekuritas gravitasional disebabkan oleh sistem penangkap gaya tarikan bumi yang terlalu peka.
Gejala yang timbul :
- anak merasa mudah jatuh pada perubahan sikap tubuhnya
- merasa stabil, apabila duduk dan berdiri dengan kedua kakinya di lantai atau berbaring di tempat tidur
- tidak berani melompat, naik2, memanjat
- tidak suka membungkuk, apa lagi jungkir-balik
- tidak menyukai olah raga.
Karena perasaannya yang takut jatuh dan menghindari terjatuh, ia menjadi lebih bergantung, lebih ingin berpegangan dengan orang lain. Akibatnya, proses pendewasaannya dapat terganggu.