Sabtu, 21 Oktober 2017

Psychological Well Being - Definisi, dimensi, indikator, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

     Hasil gambar untuk psychological well being
     1.  Definisi Psychological Well-Being
                      Teori psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun 1989. Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Segala aktifitas yang dilakukan oleh individu yang berlangsung setiap hari dimana dalam proses tersebut kemungkinan mengalami fluktuasi  pikiran dan perasaan yang dimulai dari kondisi mental negatif sampai pada  kondisi mental positif, misalnya dari trauma sampai penerimaan hidup dinamakan psychological well-being (Bradburn dalam Ryff, 1995).
                      Ryff mendefinisikan psychological well-being sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara keseluruhan. Dorongan tersebut dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-being individu menjadi rendah atau  berusaha untuk memperbaiki keadaan hidup yang akan membuat psychological well-being individu tersebut menjadi tinggi (Ryff, 1995).
                      Individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi adalah individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang positif, mampu melalui pengalaman-pengalaman buruk yang dapat menghasilkan kondisi emosional negatif, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas, dan mampu mengembangkan dirinya sendiri (Ryff, 1989).
                     Kesimpulannya, psychological well-being  merupakan suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara keseluruhan yang meliputi kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, mandiri terhadap tekanan sosial, mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidup, serta merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu.
2. Dimensi dan Indikator Psychological Well-Being
                       Ryff (1995) mengemukakan enam dimensi psychological well-being beserta indikator yang menentukan tinggi rendahnya masing-masing dimensi tersebut (tersedia tabel 2.1 dalam lampiran). Adapun keenam dimensi tersebut yaitu :
a.      Penerimaan Diri (Self Acceptance)
                     Penerimaan diri yang dimaksud adalah kemampuan seseorang menerima dirinya secara keseluruhan baik pada masa kini dan masa lalunya. Seseorang yang menilai positif diri sendiri adalah individu yang memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk di dalamnya kualitas baik maupun buruk, serta memiliki perasaan positif terhadap masa lalunya. Sebaliknya, individu yang menilai negatif diri sendiri menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap kondisi dirinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupan masa lalu, bermasalah dengan kualitas personalnya dan ingin menjadi orang yang berbeda dari diri sendiri atau tidak menerima diri apa adanya (Ryff, 1995).
b.      Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)
                            Hubungan positif yang dimaksud adalah kemampuan individu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Individu yang tinggi dalam dimensi ini ditandai dengan mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain. Selain itu, individu tersebut juga memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antarpribadi. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain, terisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain, merasa sulit untuk menunjukkan kehangatan, keterbukaan, dan kepedulian terhadap orang lain (Ryff, 1995).
c.       Otonomi (Autonomy)
                     Otonomi digambarkan sebagai kemampuan individu untuk bebas namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah lakunya. Individu yang memiliki otonomi yang tinggi ditandai dengan bebas, mampu untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dan mengatur perilaku diri sendiri, kemampuan mandiri, tahan terhadap tekanan sosial, mampu mengevaluasi diri sendiri, dan mampu mengambil keputusan tanpa adanya campur tangan orang lain. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi otonomi akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta mudah terpengaruh oleh tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu (Ryff, 1995).
d.      Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
                            Penguasaan lingkungan digambarkan dengan kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan, dan mengontrol lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Individu yang tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Inividu tersebut dapat mengendalikan aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Sebaliknya, individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang rendah akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya serta  tidak mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan diri lingkungan sekitarnya  (Ryff, 1995).
e.       Tujuan Hidup (Purpose of Life)
                            Tujuan hidup memiliki pengertian individu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memegang keyakinan bahwa individu mampu mencapai tujuan dalam hidupnya, dan merasa bahwa pengalaman hidup dimasa lampau dan masa sekarang memiliki makna. Individu yang tinggi dalam dimensi ini adalah individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta memiliki tujuan dan sasaran hidup. Sebaliknya individu yang rendah dalam dimensi tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita yang tidak jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu, serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan (Ryff, 1995).
f.       Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
                     Individu yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman- pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi rendah akan merasakan dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang baik (Ryff, 1995).
                      Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi psychological well-being meliputi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi yang masing-masing dimensi memiliki indikator  yang dapat menentukan tinggi rendahnya dimensi tersebut.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
                 Perbedaan psychological well-being seseorang dengan orang lain dipengaruhi oleh beberapa faktor yang ada pada individu maupun lingkungannya. Beberapa faktor tersebut yaitu :
a.      Faktor-Faktor Demografis dan Klasifikasi Sosial
                Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, ras, pendidikan, pendapatan, dan status perkawinan terhadap psychological well-being. Hasilnya menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut kurang berhubungan dengan variasi psychological well-being (Robinson,dkk., 1991). Hasil ini diperkuat lagi oleh Ryff (1995) yang menyatakan bahwa kombinasi faktor-faktor demografis seperti penghasilan, pendidikan, usia, dan status perkawinan ternyata hanya menyumbang sekitar sepuluh persen varians terhadap kebahagiaan atau kepuasaan hidup. Ternyata, untuk dapat mengetahui gambaran (profile) individu yang mempunyai psychological well-being yang tinggi dan rendah tidak cukup menghubungkannya dengan faktor demografis seperti yang telah dijelaskan di atas, tetapi dibutuhkan penelitian yang lebih mendekati kehidupan nyata individu yang bersangkutan. Berikut ini akan dijelaskan faktor-faktor demografis dan klasifikasi sosial tersebut :
     1)  Usia
                 Penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai kelompok usia. Ryff membagi kelompok usia ke dalam tiga bagian yakni young (25-29 tahun), mildlife (30-64tahun), dan older (>65 tahun). Pada individu dewasa akhir (older), memiliki skor tinggi pada dimensi otonomi, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan penerimaan diri sementara pada dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup memiliki rendah.      
                 Individu yang berada dalam usia dewasa madya (mildlife) memiliki skor tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan, otonomi, dan hubungan positif dengan orang lain sementara pada dimensi pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan penerimaan diri mendapat skor rendah. Individu yang berada dalam usia dewasa awal (young) memiliki skor tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, dan tujuan hidup sementara pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan otonomi memiliki skor rendah (Ryff dalam Ryan & Deci, 2001).
                2)  Gender
                                 Hasil penelitian Ryff (1989) menyatakan bahwa dalam dimensi hubungan dengan orang lain atau interpersonal dan pertumbuhan pribadi, wanita memiliki nilai signifikan yang lebih tinggi dibanding pria karena kemampuan wanita dalam berinteraksi dengan lingkungan lebih baik dibanding pria. Keluarga sejak kecil telah menanamkan dalam diri anak laki-laki sebagai sosok yang agresif, kuat, kasar dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, tidak berdaya, serta sensitif terhadap perasaan orang lain dan hal ini akan terbawa sampai anak beranjak dewasa.
                                 Oleh sebab itu, tidak mengherankan bahwa sifat-sifat streotype ini akhirnya terbawa oleh individu sampai beranjak dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk membina keadaan harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki psychological well-being yang tinggi dalam dimensi hubungan positif karena ia dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain (Papalia & Feldman, 2008).
               3)  Status Sosial Ekonomi
                Ryff mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri (Ryan & Deci, 2001). Perbedaan status sosial ekonomi dalam psychological well-being berkaitan erat dengan kesejahteraan fisik maupun mental seseorang. Individu dari status sosial rendah cenderung lebih mudah stres dibanding individu yang memiliki status sosial yang tinggi (Adler, Marmot, McEwen, & Stewart, 1999).
               4)  Pendidikan
                Pendidikan menjadi satu faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being. Semakin tinggi pendidikan maka individu tersebut akan lebih mudah mencari solusi atas permasalahan yang dihadapinya dibanding individu berpendidikan rendah. Faktor pendidikan ini juga berkaitan erat dengan dimensi tujan hidup individu (Ryff, Magee, Kling & Wing, 1999).
               5)  Budaya
                Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme atau kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme memiliki nilai yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.
b.      Faktor Kepribadian
                Hasil penelitian yang telah pernah dilakukan menunjukkan bahwa afek positif cenderung berhubungan dengan sikap ekstrofert, tertarik kepada orang lain, keterlibatan sosial yang aktif, optimisme, dan self-esteem, tetapi sedikit berhubungan dengan neurotisme. Sebaliknya, afek negative cenderung berhubungan dengan neurotisme dan kurang berhubungan dengan kompetensi personal bahkan tidak berhubungan dengan ekstraversi (Robinson, 1991). Dalam Robinson (1991) disebutkan bahwa salah satu faktor penting dalam literatur  psychological well-being adalah bagaimana individu mengkonseptualisasikan serta mengukur hubungan antara psychological well-being dengan berbagai variabel kepribadian.
                 Selain beberapa faktor di atas, kontrol internal maupun eksternal juga dikatakan dapat memberikan peramalan terhadap psychological well-being seseorang (Robinson, 1991). Meski telah disebut beberapa faktor yang diperkirakan berkaitan dengan psychological well-being, Robinson (1991) berpendapat bahwa masih diperlukan banyak studi untuk dapat menjelaskan dengan baik hubungan antara psychological well-being dengan faktor-faktor sosial yang mempengaruhinya.
c.       Dukungan Sosial
                Dukungan sosial merupakan fungsi dari berbagai ungkapan perilaku supportif kepada seorang individu yang diberikan oleh orang-orang yang dianggap bermakna bagi individu yang menerimanya (Thoits dalam Emmons & Colby, 1995). Tujuan pemberian dukungan sosial ini adalah untuk mendukung individu dalam mencapai tujuan dan keserasian hidup. Menurut Robinson (1991), dukungan sosial dapat memberikan peramalan terhadap psychological well-being seseorang.
                 Dukungan sosial adalah rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang dapat dipersepsikan, yang diterima seseorang dari orang lain atau kelompok lain yang berasal dari banyak sumber seperti dari pasangan hidup, keluarga, teman, rekan kerja, dokter atau organisasi masyarakat (Sarafino, 1990). Dukungan sosial bertujuan mendukung si penerima dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup. Menurut Cobb dalam Sarafino, (1990), dukungan sosial yang dapat menimbulkan perasaan dicintai, dihargai, dan sebagai bagian dari masyarakat dalam diri seseorang. Selain itu, dukungan sosial juga dapat memberikan peramalan akan psychological well-being seseorang (Robinson, 1991).
                 Cobb, dkk. dalam Sarafino (1990) mengklasifikasikan tipe dukungan sosial yaitu dukungan emosional (melibatkan empati terhadap seseorang), dukungan penghargaan (muncul melalui pengungkapan penghargaan yang positif), dukungan instrumental (meliputi memberikan nasehat, petunjuk, umpan balik terhadap tingkah laku seseorang).
d.      Faktor Religiusitas
                Keberagamaan atau religiusitas telah banyak diteliti dalam hubungannya dengan beberapa aspek psychological well-being. Koenig, Kvale & Ferrel dalam Mardhianto (1997) misalnya, menemukan bahwa sikap religius dan aktivitasnya dapat mempengaruhi hubungan interaksi antara health dengan faktor-faktor sosio-demografis yang mempengaruhi moral dan psychological well-being pada usia lanjut. Mardhianto (1997) juga menemukan adanya hubungan antara psychological well-being dengan orientasi beragama dan pandangan agama pada pada masyarakat Hindu di Bali. Penelitian ini juga menemukan adanya kebahagiaan hidup yang lebih tinggi dan kemampuan yang lebih baik dalam mengatasi keadaan stres pada orang-orang yang memiliki orientasi religius intrinsik.
e.       Evaluasi terhadap Pengalaman-Pengalaman Hidup
                Menurut Ryff (1995), evaluasi individu terhadap pengalaman hidupnya memiliki pengaruh yang penting terhadap psychological well-being. Pengalaman tersebut mencakup berbagai bidang kehidupan dan berbagai periode kehidupan yang disetiap periodenya memiliki tuntutan dan tantangan yang berbeda. Pengalaman individu dalam bersama pasangannya, membesarkan anak, hidup bersama orang tua yang alkoholik, atau pengalaman religius tertentu akan mempengaruhi psychological well-being individu yang bersangkutan. Oleh karena itu, Ryff (1995) berpendapat bahwa untuk memahami psychological well-being seseorang dibutuhkan studi yang lebih mendalam terhadap pengalaman hidupnya.
                 Beberapa penelitian yang dilakukan para ahli menunjukkan bahwa psychological well-being secara umum (seperti kebahagiaan dan kepuasan hidup secara keseluruhan) terbukti dipengaruhi oleh evaluasi individu terhadap kondisi tertentu dari hidupnya seperti keluarga, pekerjaan, atau komunitasnya (Robinson, 1991). Perasaan tentang kondisi kehidupan tertentu membentuk individu untuk mengembangkan penilaiannya terhadap kehidupan secara umum.

            Kesimpulannya, psychological well-being individu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor demografis dan klasifikasi sosial (usia, gender, status sosial ekonomi, pendidikan, budaya), faktor kepribadian, dukungan sosial, religiusitas, serta evaluasi individu terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya. 

1 komentar:

  1. boleh minta referensi yang bagian dimensi & indikator PWB nya?

    BalasHapus